12 research outputs found

    MAWLID CELEBRATION IN ACEH: Culture, Religious Expression, and Political Medium

    Get PDF
    Abstract: This study is an ethnographic note about the Mawlid celebrations in Aceh. In contrast to most studies by previous scholars who saw Mawlid as a medium for normative theological discourse, this article aims to narrate the Mawlid phenomenon by focusing on how the Acehnese celebrated Mawlid, how the religious expression was, and how Mawlid became a political medium. This study showed that the Mawlid celebration in Aceh is not just a tradition or an expression of love for the Prophet but a cultural construction inherent to the Acehnese society, religious expression, and political media. Mawlid as a cultural construction is manifested in various forms of unique food dishes, as a religious expression manifested in typical Dhikr and Lectures Mawlid, and as a political medium seen from the invitations of Mawlid, Mawlid Pemda, and Mawlid at home. Abstrak: Kajian ini merupakan catatan etnografis tentang perayaan Maulid di Aceh. Berbeda dengan kebanyakan kajian sebelumnya yang melihat Maulid sebagai media wacana teologis normatif, artikel ini bertujuan untuk menceritakan fenomena Maulid dengan berfokus pada bagaimana masyarakat Aceh merayakan Maulid, bagaimana ekspresi keagamaannya, dan bagaimana Maulid menjadi media politik. Kajian ini menunjukkan bahwa perayaan Maulid di Aceh bukan sekedar tradisi atau ungkapan cinta kepada Nabi, melainkan sebuah konstruksi budaya dan ekspresi keagamaan yang telah melekat pada masyarakat Aceh, serta media politik. Mawlid sebagai konstruksi budaya termanifestasi dalam beragam bentuk hidangan makanan yang unik, kemudian sebagai ekspresi keagamaan termanifestasi dalam bentuk Dzikir dan Ceramah Maulid yang khas, dan sebagai media politik terlihat dari ajakan Maulid, Maulid Pemda, dan Maulid di rumah.  Keywords: Acehnese; Mawlid Celebration; Culture; Social Identity; Religious Expression; Political Medium

    Partisipasi Politik Masyarakat Desa Rias pada Pemilu 2019

    Get PDF
    This article aims to describe the political participation of the Rias Village community in the 2019 election and the conditions that affect this political participation. This article uses a descriptive approach with a qualitative method. The data in this article are the results of interviews and relevant literature studies. This study found that Rias Village's voter turnout is higher than the average voter turnout at the sub-district, district, provincial and national levels. That participation correlated positively with political participation in the sub-district level to the national level. The conditions that affect the participation of the Rias Village community in the 2019 elections are the political dynamics of the presidential election, legislative candidates from within Rias Village, experience, and community political knowledge. This finding confirms that political participation is related to other socio-political contests that develop in society. Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan partisipasi politik masyarakat Desa Rias pada pemilu 2019 dan kondisi yang mempengaruhi partisipasi politik tersebut. Artikel ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan metode kualitatif. Data dalam artikel ini merupakan hasil wawancara dan studi literatur yang relevan. Studi ini menemukan bahwa partisipasi pemilih di Desa Rias lebih tinggi dari rata-rata partisipasi pemilih di tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan nasional. Partisipasi tersebut berkorelasi positif dengan partisipasi politik di tingkat kecamatan hingga nasional. Kondisi yang mempengaruhi partisipasi masyarakat Desa Rias dalam pemilu 2019 adalah dinamika politik pemilihan presiden, calon legislatif dari dalam Desa Rias, pengalaman, dan pengetahuan politik masyarakat. Temuan ini menegaskan bahwa partisipasi politik terkait dengan kontes sosial politik lain yang berkembang di masyarakat

    Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengelolaan Hutan Pinus di Kecamatan Linge Aceh Tengah

    Get PDF
    This article aims to describe community empowerment through the management of the pine forest owned by PT Tusam Hutan Lestari in Linge District, Central Aceh.  How the relationship between the community and PT Tusam Hutan Lestari as the owner of a pine forest management permit in Linge District. The approach used in this article is a qualitative method with a descriptive model. The informant was selected using a purposive technique and data sourced from observations, interviews, and literature studies. The results of this study indicate that community empowerment through pine forest management in Linge District had a positive impact on the community. Utilization of the company's production forest by the community has encouraged the emergence of community economic empowerment because the granting of land management permits and tapping of pine sap by the community is accompanied by mentoring by the company and provision of training and the formation of company partners. It also means that there is an economic exchange relationship between the company and the community, and this relationship is a mutually beneficial relationship between the community and the company

    Durkheim's Social Solidarity and the Division of labour: An Overview

    Get PDF
    This article aims to review Durkheim's concepts of division of labour and social solidarity, especially how social solidarity developed through the division of labour and how the interplay between the two gives rise to the functionality of the social system. This study, too, explains the relevance of such concepts to studying contemporary society. This study concludes that some underlying shortcomings need addressing without denying Durkheim's attempt to provide a sound methodological and theoretical foundation for sociology as a discipline. Durkheim's contention that the Division of labour forms social solidarity is deterministic and subscribes to the law of rigidity. Individuals' occupational function is seen as a determinant and therefore has nothing to do with human free will and individuals' subjectivity to meaning. It is a sort of reductionism because it eliminates the entire propensity of human nature. It reduces the conditions of society to that of the organism of a living being. As a result, it is tough to replicate Durkheim's solidarity model to explain the complex nature of current urban societies

    Dari “Diislamkan” ke “Dipestakan”: Pergeseran Makna MujĂȘlisĂȘn (Khitanan) pada Masyarakat Gayo

    Get PDF
    This study aims to describe the meaning shift of mujĂȘlisĂȘn in Gayo society. The meaning given to the mujĂȘlisĂȘn tradition has not been constant at all times. In the Gayo lens traditional, mujĂȘlisĂȘn means something Islamic or "to be Islamic". So the activities carried out are directed at actions that are nuanced with spirituality. The study was qualitative research. This study found that over time, the meaning of the mujĂȘlisĂȘn tradition was shifted. In praxis, the spirituality aspect not dominates the discourse but has been covered by profane culture festivity practices. It is supported by the various easily accessible facilities to fulfil the consumptive desires of festivity actors. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pergeseran makna mujĂȘlisĂȘn pada masyarakat Gayo. Makna yang diberikan terhadap tradisi mujĂȘlisĂȘn pada masyarakat Gayo tidak selalu ajeg dari masa ke masa. Dalam lensa adat Gayo, sunatan atau mujĂȘlisĂȘn bermakna diislamkan, sehingga aktivitas yang dilakukan diwarnai tindakan-tindakan yang mengarah pada aspek spiritualitas. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif guna mengungkap dan merefleksikan pergeseran makna pada tradisi mujĂȘlisĂȘn. Penelitian ini menemukan bahwa seiring perkembangan zaman, pemaknaan tradisi mujĂȘlisĂȘn mulai ikut bergeser. Pada level praksis, gagasan spiritualitas tidak lagi mendominasi wacana, namun sudah ditutupi oleh praktik budaya pesta yang profan. Hal ini didukung oleh berbagai sarana yang tersedia dan mudah diakses untuk memenuhi hasrat konsumtif pelaku pesta

    Iron Cage Birokrasi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologis

    Get PDF
    This article aims to describe the education bureaucracy as a tool to achieve the objectives of education through a qualitative approach to the literature study model. The data in this paper is sourced from relevant literature and the author's experience while active in educational activities. The results of this study indicate that the bureaucracy in the form of educational administration has changed to an iron cage that shackles the educational activity itself. The delivery of education loses its orientation and turns into ceremonial routines to meet the demands of the bureaucracy. Various training, capacity building, and teacher competence have been done, but they have not significantly changed the face of education. Iron cage bureaucracy makes teachers "appear" to be developing their competence, but in fact, they are meeting the demands of the bureaucracy. Education must come out of the iron cage bureaucracy by reducing all administrative aspects that bind the noble activities of education. Bureaucracy is a human creation, so bureaucracy should be subject to humans and not humans who are subject to the will of the bureaucracy. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan birokrasi pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pendidikan melalui pendekatan kualitatif dengan model studi literatur. Data dalam tulisan ini bersumber dari literatur yang relevan dan pengalaman penulis selama aktif dalam aktivitas pendidikan. Hasil kajian menunjukkan bahwa birokrasi dalam bentuk administrasi pendidikan berubah menjadi “kerangkeng besi” yang membelenggu aktivitas pendidikan itu sendiri. Penyelenggaraan pendidikan kehilangan orientasinya dan berubah menjadi rutinitas seremonial demi memenuhi tuntutan birokrasi. Beragam pelatihan dan peningkatan kapasitas maupun kompetensi guru dalam dunia pendidikan telah dilakukan, namun belum mampu mengubah wajah pendidikan secara signifikan. Kontrol birokrasi membuat para guru “terlihat” sedang mengembangkan kompetensinya, padahal sejatinya sedang memenuhi tuntutan birokrasi. Untuk itu, pendidikan harus keluar dari “jerat birokrasi” dengan cara mereduksi semua aspek administratif yang membelenggu aktivitas mulia pendidikan. Birokrasi adalah hasil ciptaan manusia, maka seharusnya birokrasi tunduk pada manusia dan bukan manusia yang tunduk pada kehendak birokrasi

    Menjadi Misionaris: Sosialisasi-komitmen Agama Elder dan Sister Mormon-gereja Yesus Kristus

    Full text link
    Penelitian ini menggunakan sudut pandang Sosiologi agama untuk melihat sosialisasi agama membentuk komitmen religius pada anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir (OSZA) sehingga memilih dan bertahan menjadi misionaris penuh waktu. Misionaris di gereja ini diplih karena mengalami peningkatan jumlah misionaris yang begitu besar selama dua tahun terakhir. Penelitian dilakukan di Gereja Yesus Kristus OSZA, Tebet, Jakarta Selatan pada bulan Nopember-Desember 2013. Penelitian kualitatif ini menggunakan paradigma sosiologi interpretif dengan teknik pengumpulan data memalui depth interview dan jenis penelitian studi kasus. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa teori Sosiologi agama yaitu Doxa (Pierre Bordieu), Sosialisasi agama dan Komitmen agama (Darren E.Sherkat). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip dasar dari kegiatan misionari dalam Gereja Yesus Kristus OSZA adalah setiap anggota memiliki tanggungjawab untuk menyebarkan Injil. Walaupun menjadi misionari harus meninggalkan kesenangan duniawi namun dorongan oleh orang tua dan patrner sesama misi selalu menguatkan sehingga membuat para misionaris tetap bertahan dan terus melakukan sosialisasi agama. Sosialisasi agama, melalui saluran-saluran yang diinstitusionalkan bagian dari kerangka pengajaran Gereja, menjadi instrumen untuk mentransfer nilai-nilai “menjadi misionaris”, sehingga membentuk komitmen “menjadi misionaris” kepada para anggota yang dirasa sudah memenuhi syarat sebagai misionaris penuh waktu. Sosialisasi yang dilakukan oleh misionari ini berupa penyebaran kabar baik supaya pihak lain mengenal Injil dan memberikan pengetahuan kepada para anggota tentang pekerjaan misi yang sangat terhormat

    Peran Ulama dalam proses Rekonsiliasi Pasca Konflik di Aceh

    Get PDF
    In the context of Aceh, the word “Ulama" refers to an Islamic scholar who own boarding school (In Aceh language known as Dayah) or a leader of an Islamic boarding school (known as Teungku Dayah). Ulama become "the backbone" of any social problem and play strategic and influential roles in Acehnese society. However, The Ulama roles have changed in the post-conflict era in Aceh. The assumption that Ulama are unable running their authorities in Acehnese society especially in the post-conflict era. Ideally, their roles are needed in the reconciliation regarding the agents of reconciliation who have authority like the Ulama and are trustworthy by Acehnese society. Therefore, this article aims to discuss the position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh. To investigate the problem, a descriptive qualitative method was used, where the method is to describe the nature of a temporary situation that occurs when the research is carried out in detail, and then the causes of the symptoms were examined. The data were literature studies, participatory observation, and in-depth interviews. The results of this research showed that during an important period of Aceh's history, the Ulama constantly become guardians that provide a religious ethical foundation for each socio-political change in Aceh, and subsequently they also act as the successor to the religious style that developed in the society. Even the formation and development of the socio-political and cultural system occurred partly on the contribution of the Ulama. The position of Ulama in the process of post-conflict reconciliation in Aceh can be found in four ways. Firstly, knowledge transmission. Secondly, as a legal decision-maker which refers to Sharia law, especially related to the reconciliation process. Thirdly, as a mediator. Fourthly, cultural roles in the form of ritual or ceremonial guides that are carried out when the parties of the conflict have met an agreement to reconcile.Dalam konteks Aceh, “Ulama” merujuk pada sosok individu yang memiliki Dayah (pesantren) atau pimpinan Dayah yang terkenal dengan sebutan Teungku Dayah. Pada ranah sosial, Ulama Aceh merupakan “tulang punggung” keputusan dalam berbagai hal. Ulama hadir sebagai kelompok strategis dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Aceh. Namun, pasca konflik Aceh, telah terjadi dinamika pergeseran peran ulama di Aceh. Ada anggapan bahwa ulama tidak lagi mampu menjalankan otoritasnya dalam masyarakat, terutama pada masa pasca konflik. Padahal idealnya, ulama turut berperan dalam proses rekonsiliasi, mengingat saat ini belum ada agen rekosiliasi yang memiliki otoritas seperti ulama dan benar-benar dapat dipercaya oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mendiskusikan tentang posisi Ulama Aceh dalam proses rekonsiliasi pasca konflik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara terjadi pada saat penelitian dilakukan secara detail, dan kemudian berusaha memeriksa sebab-sebab dari gejala tersebut. Data dalam penelitian ini bersumber dari studi pustaka, obeservasi partisipatoris dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam setiap periode penting seajarah Aceh, ulama selalu hadir sebagai satu kekuatan yang memberi ladasan etis keagamaan bagi setiap perubahan sosial-politik di Aceh, dan selanjutnya ulama bertindak sebagai penerus corak keagamaan yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Bahkan pembentukan dan perkembangan sistem sosial-politik dan budaya masyarakat Aceh terjadi sebagian atas kontribusi para ulama. Adapun Posisi ulama dalam proses rekonsiliasi di Aceh pasca konflik dapat dilihat dalam empat hal. Pertama, transmisi pengetahuan. Kedua, sebagai pengambil keputusan hukum yang bersumber dari ajaran Islam, terutama terkait dengan proses rekonsiliasi. Ketiga, sebagai mediator. Keempat, peran kultural yang berupa pemandu ritual atau seremonial yang dilakukan ketika pihak yang bertikai sudah menemukan kata sepakat untuk berdamai

    BUR TELEGE : ETNOGRAFI GERAKAN KOLEKTIF MASYARAKAT DALAM MEMBANGUN WISATA ISLAMI

    Get PDF
    Lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 membuka peluang bagi desa untuk mandiri dan otonom. Keistimewaan tersebut salah satunya untuk berpartisipasi dalam peningkatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan kawasan wisata islami. Berdasarkan hal tersebut, kebangkitan pariwisata Buttelege membuka asa baru dalam penelitian tentang desa. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengkaji 3 hal utama, pertama; bagaimana proses awal munculnya ide untuk membangun daerah Pariwisata Burtelege dengan memanfaatkan dana desa. Kedua; mellihat bagaimana dampak sosial, peruubahan dan perkembangan. Ketiga; mengkaji negosiasi yang dibangun oleh inisiator dalam menjawab tantangan hadirnya wacana wisata islami. Dengan menggunakan pendekatan etnografi, penelitian ini bertujuan mengeksplorasi dinamika sosial-ekonomi terkait dengan pengembangan kawasan wisata Burtelege. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada faktor awal dari pembangunan dan pengembangan Burtelege sebagai kawasan wisata.tiga faktor tersebut adalah keinginan untuk mengubah stereotip kampung, mengembalikan keaktifan pemuda dan keinginan mengorganisasikan parkir di hari Minggu sebagai stimulan. Selain itu, partisipasi masyarakat berupa kegiatan swadaya telah menstimulus perkembangan Burtelege sebagai kawasan wisata islami

    Respon Masyarakat Aceh Terhadap Aturan Dan Implementasi Syariat Islam Pasca Tsunami

    Full text link
    2004 Indian ocean earthquake and tsunami changed Aceh society significantly in particular political, social and culture system. Just before the tsunami hit Aceh, Islamic law was vigorously implemented by the Govermentof Aceh. After the tsunami, the dynamic of Islamic law in Aceh changed. The aim of this research is to envisage Banda Aceh city residents' response of Islamic law rule and implementation after 2004 Indian ocean earth quake and tsunami. Data were collected qualitatively by applying observation and interiew method. Participants of this research were sellected purposively. The results showed that the new leadership post-tsunami Aceh gives the impression of anelitist that caused various negative reactions and responses from the public. Most people think that the new administration is less concerned and lessserious in implementing Islamic law holistically. A pragmatic attitude towards the rules of Islamic law emerged in some communities, especially the younger generation. Therefore, for some open-minded and crtical people, the implemen tation of Islamic law is seen deteriorating as Islamic law is often only becomes an attribute and a tool of legitimacy to the ruling elite. Therefore, it is necessary to revitalize Islamic law at both the elite and the people level, for example by doing a cultural movement. This movement aims to rebuild the spirit enforce Sharia Law which are cultural, not a political and elitist.Key words : Islam Sharia, elite and society responsePeristiwa tsunami merupakan momentum besar bagi Perubahan masyarakat Aceh. Tsunami disebut sebagai cikal bakal per damaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia (RI). Dalam per janjian damai disepakati bahwa anggota GAM diberi kan kebebasan menjadi warga sipil kembali, artinya GAM diberikan hak politik penuh sebagai warga Negara Indonesia. Kesepakatan damai juga memberikan ruang bagi anggota GAM untuk berpartisipasi dalam politik praktis. Hal itu terbukti dengan peralihan kepemimpinan pasca Tsunami ke tangan mantan anggota GAM. Perubahan kepemimpinan dan sistem politik ini membawa pengaruh pada dinamika penerapan syariat Islam yang baru disahkan menjadi peraturan daerah Aceh beberapa tahun sebelum Tsunami. Implementasi syariat Islam sesaat sebelum Tsunami sedang sangat gencar diterapkan oleh pemerintah, sehingga Perubahan sistem politik ber dampak pada dinamika sosial budaya masyarakat Aceh. Kepemimpinan Aceh yang baru pasca Tsunami memberikan kesan elitis, yang kemudian menimbulkan berbagai reaksi dan respon dari masyarakat. Sebagian masya rakat menganggap pemerintahan yang baru kurang peduli dan kurang serius dalam menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sikap pragmatis terhadap perda syariat Islam muncul di sebagian masyarakat, terutama generasi mud, sehingga bagi sebagian kelompok masyarakat yang kritis, menganggap bahwa implementasi syariat Islam semakin merosot. Syariat Islam sering kali hanya menjadi atribut dan alat legitimasi bagi elit yang berkuasa, bahkan terkesan dipolitisasi. Oleh karena itu, perlu adanya revitalisasi syariat Islam baik di tingkat elit maupun masyarakat.Gerakan kultural merupakan salah satu alternatif yang perlu dibentuk untuk membangun kembali semangat menjalankan syariat Islam yang bersifat kultural, bukan politis dan eliti
    corecore